Skip to main content

The Corrs - What Can I Do

Question

Pasti sering kan melihat iklan salah satu produk perawatan wajah, Ponds? Ada salah satu iklan Ponds yang menggunakan lagu ini sebagai background music nya. Dari situlah pertama kali saya mendengarkan lagu berjudul What Can I Do yang dinyanyikan oleh band asal Irlandia ini. Alunan musik yang cukup lembut dan suara vokal Andrea, vokalis The Corrs, menambah daya tarik lagu ini. 

Hal yang lebih menarik bagi saya dari lagu ini adalah liriknya. Mengapa menarik? Tentu saja karena sesuai dengan pengalaman pribadi, hehe. Sebuah lagu bisa selalu diingat salah satunya adalah karena memori yang kita “tinggalkan” bersamanya. Lagu The Corrs ini menjadi salah satu “mars” yang menemani cerita patah hati saya. 


What can I do to make you love me? 
What can I do to make you care? 

What can I say to make you feel this? 
What can I do to get you there, and love me? 


Sekilas lirik di atas membuat hati saya trenyuh. Mungkin hal tersebut juga yang membuat saya menyukai lagu What Can I Do dan masih sering mendengarkannya sampai hari ini. Awalnya saya merasa, ya betul itu..seperti itulah perasaan saya ketika menghadapi suatu hubungan yang tak berjalan sesuai dengan harapan pribadi saya. Jadi apa sih yang bisa saya lakukan untuk membuat si dia perhatian dengan saya? Apa sih yang harus saya lakukan agar si dia bisa merasakan perasaan saya (yang tulus) ini dan pada akhirnya si dia juga memiliki perasaan yang sama dengan saya? 

Sekilas (lagi), perasaan yang saya berikan terhadap lirik tersebut terkesan “heroik”. Terkesan bahwa saya adalah orang yang begitu menyukai si dia dan “rela” untuk mengusahakan hal – hal yang perlu dilakukan untuk mendapatkan balasan. Ya, begitulah kira – kira yang saya rasakan setiap mendengar lagu ini diputar. 

Namun, dengan berjalannya waktu saya menyadari bahwa kesan yang saya berikan itu bukan “heroik”, tapi lebih ke victim mental. Dengan mengajukan pertanyaan tersebut kepada diri sendiri sekarang rasanya seperti memberikan “kekuatan” kita pada orang lain. Karena satu hal yang pasti, kita tidak dapat mengubah orang lain. Hanya satu orang yang dapat kita ubah, yaitu diri kita sendiri. Dengan bertanya hal itu, kita merasa frustasi karena goal kita adalah membuat orang itu memiliki sebuah perasaan khusus untuk kita. Rasa frustasi tersebut bisa saja membuat “aura” kita jadi kelihatan tidak bagus dan bukannya menarik bagi orang yang kita tuju malah membuat si dia semakin tidak tertarik pada kita. 

Pada buku Awaken the Giant Within karangan Tony Robbins, motivator terkenal asal Amerika, saya teringat akan suatu bahasan mengenai disempowering question. Dengan bertanya, apa sih yang bisa bikin kamu suka juga sama saya? Gimana sih agar kamu bisa ngerasain, ini loh yang saya rasain terhadap dirimu... seperti melimpahkan “kebahagiaan” kita pada orang tersebut. Seandainya pada akhirnya si dia tetap tidak merespons seperti yang kita harapkan, kita mudah saja menyalahkan si dia atas kekecewaan yang kita rasakan. Rasa kecewa tentu saja tidak salah, asal tidak berlarut – larut apalagi ditambah dengan menyalahkan orang lain. Berusaha agar si dia menyukai kita juga tentu saja tidak salah, asal diimbangi dengan ekspetasi yang realistis dan kesiapan untuk menghadapi apapun hasil akhirnya (eeeaaaa :D). 

Tony Robbins mengajukan alternatif agar kita bisa memiliki kontrol penuh atas reaksi kita terhadap suatu kejadian ketimbang hanya menjadi victim. Gantilah pertanyaan tersebut! Daripada bertanya “Apa yang harus saya lakukan agar dia juga menyukai saya?” lebih baik kita berpikir “Bagaimana saya bisa membuat diri saya bisa merasa dicintai? Apa kegiatan yang membuat saya merasa senang dan akhirnya saya menjadi orang yang atraktif?”. Gantilah fokus kita dari “dia” menjadi “saya”. 

Lebih lanjut Tony Robbins juga mengungkapkan bahwa banyak hubungan – hubungan yang tidak dapat bertahan karena banyak nya pertanyaan yang men-demotivasi diri. Sering orang bertanya kepada dirinya sendiri “Mengapa pasangan saya memiliki sifat begitu? Mengapa dia tidak pernah bisa mengerti perasaan saya? Bagaimana kalau saya tinggalkan dia sekarang juga? Apa yang akan dia rasakan?”. Padahal menurut Tony, pertanyaan tersebut dapat diganti menjadi pertanyaan yang lebih memotivasi kita untuk membuat hubungan kita more meaningful, misalnya “Hal apa yang paling saya sukai dari dia? Hal apa yang membuat saya beruntung memilikinya?”. Atau lebih bijak lagi kita bisa bertanya, “Apa hikmah yang bisa saya ambil dari peristiwa ini? Apa yang baik dari hal ini?”. Pertanyaan tersebut akan mengubah fokus kita dari melihat kekurangannya menjadi melihat kelebihannya. Dengan begitu kita dapat lebih jelas untuk mempertimbangkan keputusan apa yang harus kita ambil atau respon apa yang harus kita lakukan. 

Mulailah lebih aware terhadap pertanyaan yang sering kita ajukan kepada diri sendiri, tidak hanya dalam hubungan namun juga pada seluruh aspek kehidupan kita sehari – hari. Are they empowering or not?




Comments

Popular posts from this blog

opini : lagu Opo Aku Iki - Soimah

Miko Fajar Bramantyo

Lirik Lagu Merapi lan Merbabu - Anik Sunyahni